Kali ini saya akan ngeposting masalah PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), yang merupakan tugas makalah dari mata kuliah Farmakoterapi. let's read!!!!!!
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI
KRONIS (PPOK)/CHRONIC OBSTRUCTIVE
PULMONARY DESEASE (COPD)
A. DEFENISI
Menurut WHO yang dituangkan dalam Panduan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun
2010, Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) atau penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit yang dikarakterisasi oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon
inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Dua
gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis kronis atau emfisema.
B.
EPIDEMIOLOGI
Menurut data Sukernas tahun 2001, penyakit pernafasan (termasuk PPOK) merupakan
penyebab kematian ke 2 di Indonesia. WHO memperkirakan pada tahun 2020
prevalensi PPOK akan terus meningkat dari urutan 6 menjadi peringkat ke-3 di dunia
dan dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 penyebab kematian tersering.
Prevalensi
PPOK meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi
ini juga lebih tinggi pada pria daripada wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara di mana merokok
merupakan gaya hidup, yang menunjukkan bahwa rokok merupakan faktor risiko
utama, dimana angka kesakitannya meningkat dengan usia dan lebih besar pada
pria daripada wanita. Kematian akibat PPOK sangat rendah pada pasien usia di
bawah 45 tahun, dan meningkat dengan bertambahnya usia.
C.
ETIOLOGI
Ada beberapa faktor resiko utama
berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan
dan faktor host. Beberapa faktor paparan
lingkungan antara lain adalah :
a.
Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK,
dengan risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok,
dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan
mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang
dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK
berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang
lebih 10 % orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif
(tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
b.
Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri
gelas dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu
katun dan debu gandum, toluene
diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang
bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.
c.
Polusi
udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin
memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari
luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun polusoi dari dalam rumah
misalnya asap dapur.
d.
Infeksi
Kolonisasi
bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu inflamasi
neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi
bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari
peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Sedangkan
faktor risiko yang berasal
dari host/pasiennya antara lain
adalah :
1.
Usia
Semakin bertambah usia,
semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang didiagnosa PPOK sebelum
usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1-antitripsin. Namun
kejadian ini hanya dialami <1% pasien PPOK.
2.
Jenis
kelamin
Laki-laki lebih
berisiko terkena
PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria.
Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena
meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
3.
Adanya
gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya
gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK, misalnya defisiensi
Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin)
atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya
tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami PPOK.
4.
Predisposisi
genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin
(AAT)
Defisiensi AAT ini
terutama dikaitkan dengan emfisema,
yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya
ketidakseimbangan antara enzim proteolitik
dan faktor protektif.
D. PATOFISIOLOGI
Proses potogenesis PPOK
BRONKITIS KRONIS DAN EMFISEMA PADA PPOK
a.
Bronkitis
kronis
Secara normal silia dan
mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan, yaitu dengan menangkap dan
mengeluarkannya. Iritasi yang terus-menerus seperti asap rokok atau polutan
dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Asap
rokok menghambat pembersihan mukosiliar (mucociliary clearance). Faktor yang
menyebabkan gagalnya mukosiliar adalah adanya proliferasi sel goblet dan
pergantian epitel yang bersilia dengan yang tidak bersilia. Hiperplasia dan
hipertrofi kelenjar penghasil mukus menyebabkan hipersekresi mukus di saluran
nafas. Iritasi asap rokok juga menyebabkan inflamasi bronkiolus (bronkilolitis)
dan alveoli (alveolitis). Akibatnya makrofag dan neotrofil berinfiltrasi ke
epitel dan memperkuat tingkat kerusakan epitel. Bersama dengan adanya produksi
mukus, terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli. Dengan banyaknya mukus yang
kental dan lengket serta menurunnya pembersihan mukosiliar menyebabkan
meningkatnya risiko.
Inflamasi yang terjadi
pada bronkitis kronis dengan pengeluaran mukus dan penyempitan lumen, juga
diikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil, yang
makin mempersempit saluran pernafasan. Autopsi menunjukkan bahwa pasien dengan
bronkitis kronis mempunyai diameter jalur pernafasan yang kurang dari 0,4 mm.
Bronkitis kronik
berkembang selama beberapa tahun, perubahan pada saluran nafas kecil
menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap, sehingga
terjadi ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia. Hipoksemia mengakibatkan
hipertensi pulmonary dengan berikutnya terjadi gagal jantung kanan (cor
pulmonale). Pasien dengan
hipertensi pulmonari mengalami peningkatan persentasi intima dan media pada
arteri pulmonari. Hipoksemia persisten menstimulasi eritropoiesis dengan akibat
polisitemia dan meningkatnya viskositas darah, yang akan mendorong terjadinya
mental confusion dan thrombotic stroke.
Karena adanya mukus dan
kurangnya jumlah silia dan gerakan silia untuk membersihkan mukus maka pasien
dapat menderita infeksi berulang. Bakteri yang dapat menyerangnya yaitu Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza. Tanda-tanda
infeksi adalah perubahan sputum seperti meningkatnya volume mukus, mengental,
dan perubahan warna. Demam dapat terjadi atau pun tidak. Infeksi yang berulang
dapat menyebabkan keparahan akut pada status pulmonar dan berkontribusi secara
signifikan pada percepatan penurunan fungsi pulmonar karena inflamasi
menginduksi fibrosis pada bronkus dan bronkiolus.
b.
Emfisema
Emfisema khususnya
melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang bertanggung jawab untuk
pertukaran gas. Asinus terdiri: respiratory bronkiolus, duktus alveolus dan
kantong alveolar. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus sehingga
permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Ada beberapa tipe emfisema
berdasarkan pola asinus yang terserang, tetapi yang paling berkaitan dengan
PPOK adalah emfisema sentrilobular. Emfisema tipe ini secara selektif menyerang
bagian bronkiolus. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar dan bergabung dan
cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris dan kantung
alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan. Penyakit ini seringkali lebih
berat menyerang pada bagian atas paru-paru, tetapi akhirnya cenderung tersebar
tidak merata. Emfisema sentrilobular lebih banyak ditemukanpada orang yang
merokok, dan jarang dijumpai pada orang yang tidak merokok.
Mekanisme
Terjadinya emfisema
Keterangan gambar:
Asap
rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan
melepaskan enzim proteolitik (elastase,
kolagenase). Pada orang normal, kerja enzim ini akan dihambat oleh α1-antitripsin, namun pada kondisi dimana
terjadi defisiensi α1-antitripsin,
enzim proteolitik akan menyebabkan
kerusakan pada alveous menyebabkan emfisema.
E.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Diagnosis PPOK
harus dipertimbangkan pada setiap pasien kronis, produksi dahak atau dispnea
dan yang memiliki faktor risiko penyakit ini. Adanya keterbatasan aliran udara
dapat dijelaskan lebih lanjut dengan spirometri. Spirometri merupakan penilaian
komprehensif dari kapasitas dan volume paru. Spirometri yang dikombinasikan
dengan pemeriksaan fisik dapat meningkatkan akurasi diagnosis PPOK. Spirometri
juga digunakan untuk menentukan tingkat keparahan penyakit, bersama dengan
penilaian gejala dan adanya komplikasi. Keuntungan utama dari spirometri adalah dapat
mengidentifikasi individu yang memiliki kemampuan farmakoterapi untuk
mengurangi eksaserbasi.
Prosedur pengujian reversibilitas:
1.
Persiapan
Pengujian harus dilakukan ketika
pasien secara klinis stabil dan bebas dari infeksi pernafasan.Pasien tidak diberikan inhalasi bronkodilator
short-acting 6 jam sebelumnya, long-acting β-agonis 12 jam sebelumnya, atau
teofilin SR 24 jam sebelumnya.
2.
Spirometri
FEV1 harus diukur sebelum diberikan bronkodilator.Bronkodilator
dapat diberikan dengan metered-dose inhaler (MDI)
atau nebulisasi.Dosis umum biasanya 400 mcg β-agonis, 160 mcg antikolinergik, atau kombinasi keduanya.FEV1 dapat diukur 10-15 menit setelah pemberian β-agonis atau 30-45 menit setelah kombinasi diberikan.
3.
Hasil
Peningkatan FEV1 yang lebih besar dari 200 ml dan 12% di atas
prebronchodilator FEV1 dianggap signifikan.
prebronchodilator FEV1 dianggap signifikan.
Tabel
1. Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Nilai FEV1 dan Gejala Menurut
GOLD 2010
Tingkat
|
Nila FEV1
dan Gejala
|
I
Ringan
|
FEV1/FVC
< 70% FEV1 ≥ 80% dan
umumnya, tapi tidak selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada
tahap ini, pasien biasanya bahkan belum merasa bahwa paru-parunya bermasalah.
|
II
Sedang
|
FEV1/FVC
< 70%; 50%< FEV1 < 80%, gejala
biasanya mulai progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.
|
III
Berat
|
FEV1/FVC
< 70%; 30%< FEV1 < 50%. Terjadi
eksaserbasi berulang yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada
tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas
atau serangan penyakit.
|
IV
Sangat Berat
|
FEV1/FVC
< 70%; FEV1 < 30% atau < 50%
plus kegagalan respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika
walaupun FEV1 < 30%, tapi pasien mengalami kegagalan pernafasan
atau gagal jantung kanan atau cor pulmonale . Pada tahap ini,
kualitas hidup sangat terganggu dan serangan mungkin mengancam jiwa.
|
Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis
PPOK adalah sebagai berikut:
1. Batuk
kronis : terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang
hari.
2. Produksi
sputum secara kronis
3. Bronkitis
akut: terjadi secara berulang.
4. Sesak
nafas (dispnea): bersifat progresif sepanjang waktu, terjadi setiap hari,
memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika
terkena infeksi pernafasan.
5. Riwayat
paparan terhadap faktor risiko: merokok, partikel dan senyawa kimia, asap dapur.
F.
TATALAKSANA TERAPI
1.
Terapi
non-farmakologis
a)
Berhenti merokok adalah strategi
yang paling efektif untuk mengurangi risiko PPOK dan satu-satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan FEV1 jangka panjang dan memperlambat perkembangan PPOK.
b)
Program rehabilitasi paru termasuk
latihan bersama dengan
berhenti merokok, latihan pernapasan, pengobatan medis yang optimal, dukungan psikososial, dan pendidikan kesehatan. Tambahan oksigen, dukungan nutrisi, dan perawatan psychoeducational (misalnya, relaksasi) adalah tambahan penting yang berarti dalam program rehabilitasi paru.
berhenti merokok, latihan pernapasan, pengobatan medis yang optimal, dukungan psikososial, dan pendidikan kesehatan. Tambahan oksigen, dukungan nutrisi, dan perawatan psychoeducational (misalnya, relaksasi) adalah tambahan penting yang berarti dalam program rehabilitasi paru.
c)
Vaksinasi
tahunan dengan vaksin intramuskular influenza tidak aktif yang direkomendasikan.
d)
Satu dosis vaksin pneumokokus
polivalen diindikasikan untuk pasien
pada setiap usia dengan PPOK; vaksinasi ulang dianjurkan bagi pasien yang lebih tua dari 65 tahun jika vaksinasi pertama adalah lebih dari 5 tahun sebelumnya dan pasien lebih muda dari 65 tahun.
pada setiap usia dengan PPOK; vaksinasi ulang dianjurkan bagi pasien yang lebih tua dari 65 tahun jika vaksinasi pertama adalah lebih dari 5 tahun sebelumnya dan pasien lebih muda dari 65 tahun.
e)
Terapi oksigen jangka panjang.
Penggunaan terapi oksigen dapat meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK dengan
hipoksemia kronis.
2.
Terapi
farmakologis
Terapi farmakologi
berdasarkan keparahan penyakit
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi
PPOK stabil perlu disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan umum
terapi PPOK berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.
Obat-obat yang
digunakan
1.
Bronkodilator
Bronkodilator
merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini bisa digunakan sesuai
kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi serangan, atau secara
reguler untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala. Efek samping obat
bronkodilator umumnya dapat diprediksi dan tergantung dosis. Jarang menimbulkan
efek obat yang tidak dikehendaki (adverse
drug reaction), dan kalaupun terjadi umumnya segera hilang jika obat
dihentikan.
Beberapa contoh bronkodilator untuk
PPOK adalah sbb:
a.
Antikolinergik
Digunakan
sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Hal ini karena
persyarafan utama yang memediasi aksi bronkokonstriksi adalah saraf kolinergik, di mana pada usia
lanjut saraf adrenergik sudah mengalamai down
regulasi dan berkurangnya sensitivitas. Mekanisme utama obat golongan
antikolinergik adalah blokade pada reseptor
muskarinik M3. Termasuk golongan ini adalah ipratropium dan oksitropium
(beraksi pendek), dan tiotropium bromida
(beraksi panjang). Penghambatan terhadap reseptor M3 menyebabkan penghambatan
terhadap aktivasi enzim fosfolipase
yang menguraikan senyawa fosfatidil
inositol difosfat menjadi inositol
trifosfat dan diasilgliserol.
Berkurangnya senyawa inositol trifosfat
yang beraksi memobilisasi kalsium dari tempat penyimpanannya menyebabkan
relaksasi otot polos bronkus.
b.
Simpatomimetik
Obat
golongan simpatomimetik yang selektif terhadap reseptor adrenergik β-2 bersifat
bronkodilator dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan
pembentukan adenosine 3’,5’ monophosphate
(3’,5’-cAMP). cAMP akan menghambat aksi myosin
light chain kinase, sehingga pada gilirannya akan mencegah terjadinya
kontraksi otot polos bronkus. Golongan ini juga mungkin meningkatkan
pembersihan mukosiliar.
Efek bronkodilatasi β-agonis aksi cepat
umumnya berakhir setelah 4-6 jam, sedangkan β-agonis aksi panjang seperti salmeterol dan formoterol menunjukkan durasi aksi sampai 12 jam atau lebih, tanpa
berkurangnya efektivitas pada malam hari atau dengan penggunaan teratur pada
pasien PPOK.
c.
Kombinasi
antikolinergik dan simpatomimetik
Penggunaan
kedua obat ini secara kombinasi terutama sering digunakan jika perkembangan
penyakitnya meningkat atau gejalanya memburuk. Kombinasi dua golongan
bronkodilator ini mungkin akan lebih efektif dibandingkan digunakan
sendiri-sendiri, selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya sehingga
menurunkan potensi efek sampingnya. Kombinasi antara suatu β-agonis aksi pendek
maupun panjang dengan antikolinergik terbukti dapat meningkatkan efek perbaikan
gejala dan fungsi paru. Sebuah studi melaporkan bahwa kombinasi tiotropium bromida dengan formoterol memberikan perbaikan fungsi
paru yang lebih baik daripada kombinasi salmeterol
dengan flutikason.
d.
Metilxantin
Teofilin dan
aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan menghambat phosphodiesterase monofosfat (sehingga meningkatkan
cAMP), menghambat masuknya ion kalsium ke dalam otot polos,
antagonis prostaglandin, stimulasi katekolamin endogen,
antagonis reseptor adenosin, dan penghambatan pelepasan mediator
dari sel mast dan leukosit. Penggunaan kronis teofilin pada PPOK menunjukkan perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara subyektif,teofilin telah terbukti mengurangi dyspnea, meningkatkan toleransi latihan, dan memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonary yang mungkin menyebabkan kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk peningktatan fungsi jantung dan penurunan tekanan arteri pulmonalis.
antagonis prostaglandin, stimulasi katekolamin endogen,
antagonis reseptor adenosin, dan penghambatan pelepasan mediator
dari sel mast dan leukosit. Penggunaan kronis teofilin pada PPOK menunjukkan perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara subyektif,teofilin telah terbukti mengurangi dyspnea, meningkatkan toleransi latihan, dan memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonary yang mungkin menyebabkan kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk peningktatan fungsi jantung dan penurunan tekanan arteri pulmonalis.
2.
Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid mempunyai
mekanisme kerja sebagai antiinflamasi dan mempunyai keuntungan pada penanganan
PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan menghambat prostaglandin.
3.
Terapi
Oksigen jangka panjang (long term)
Penggunaan oksigen berkesinambungan
(> 15 jam sehari) dapat meningkatkan harapan hidup bagi pasien-pasien yang
mengalami kegagalan respirasi kronis,
dan memperbaiki tekanan arteri pulmonar,
polisitemia (hematokrit > 55%),
mekanik paru, dan status mental.
Terapi
oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat keparahan IV
(sangat berat) jika:
a) PaO2
≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia,
atau
b) PaO2
antara 55 mmHg – 60 mmHg, atau SaO2 89%, tetapi ada tanda hipertensi pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya
gagal jantung kongestif, atau polisitemia.
4.
Antibiotik
Sebagian
besar eksaserbasi akut PPOK
disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus atau bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan
penggunaan antibiotika pada pasien-pasien yang:
a) Dengan
eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama
yaitu: peningkatan dyspnea (sesak
nafas), peningkatan volume sputum,
dan peningkatan purulensi sputum,
atau
b) Dengan
eksaserbasi akut dengan 2 tanda
utama, jika peningkatan purulensi sputum
merupakan salah satunya, atau
c) Dengan
eksaserbasi parah yang membutuhkan
ventilasi mekanik, baik invasif maupun non-invasif
Beberapa
bakteri yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus
pneumonia, Haemophilus parainfluenzae,
dan Moraxella catarrhalis.
Tabel 2. Terapi antibiotika yang
direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK
Karakteristik pasien
|
Patogen penyebab yang mungkin
|
Terapi yang direkomendasikan
|
·
Eksaserbasi tanpa komplikasi
·
< 4 eksaserbasi setahun
·
Tidak ada penyakit penyerta
·
FEV1 > 50%
|
S pneumoniae, H. Influensa, H. Paraenfluenzae,
dan M. catarrhalis umumnya
tidak resisten
|
Makrolid (azitromisin, klaritromisin), sefalosporin generasi 2
atau 3, doksisiklin
|
·
Eksaserbasi kompleks
·
Umur > 65 th,
Ø 4 eksaserbasi
pertahun
·
FEV1 < 50% tapi > 35%
|
H. Influensa, M. Catarrhalis, S pneumoniae penghasil
betalaktamase, Enterobacteraceae (K. Pneumoniae, E. coli, Proteus,
Enterobacter, dll)
|
Amoksisilin/klavulanat, Fluorokuinolon (levofroksasin,
gatiflokasin, moksifloksasin), Sefalosporin generasi 2 dan 3
|
Eksaserbasi kompleks dengan risiko P. aeruginosa
|
Seperti di atas, ditambah P. aeruginosa
|
Fluorokuinolo (levofroksasin, gatiflokasin, moksifloksasin),
terapi IV jika perlu : sefalosporin generasi 3 atau 4
|
5.
Imunisasi
Vaksin influenza terbukti dapat
mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai 50%. Vaksin
influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK usia lanjut karena cukup efektif
dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK. Pasien PPOK sebaiknya menerima satu atau
dua kali vaksin pneumococcal dan
vaksinasi influenza per tahun untuk mengurangi insiden pneumonia. Bila pasien
terpapar pada influenza sebelum divaksinasi, maka dapat digunakan obat
antivirus amantadin dan rimantadin.
6.
Mukolitik
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol
teriodinasi telah diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang
kontroversial. Meskipun mungkin penggunaannya memberikan manfaat bagi sebagian
pasien, tetapi secara keseluruhan manfaatnya sangat kecil. Karena itu, menurut
GOLD 2010, penggunaannya tidak direkomendasikan berdasarkan bukti-bukti klinis
yang ada.
7.
Terapi
Pengganti AAT (alpha anti trypsine)
Pada pasien dengan defisiensi AAT secara
herediter, selain dengan mengurangi
faktor risiko dan terapi simptomatik
menggunakan bronkodilator, dapat
ditambahkan terapi penggantian AAT (AAT
replacement therapy). Terapi ini terdiri dari infus AAT secara rutin
(mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma di atas 10 mikromolar. Regimen
dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara intravena
sekali seminggu dengan kecepatan 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan dengan
toleransi pasien. Saat ini, contoh produk yang tersedia adalah Prolastin, Aralast, dan Zemaira.
Terapi Pada Komplikasi
PPOK : Cor Pulmonale
Pada keadaaan PPOK berat (tahap IV),
pasien seringkali mengalami komplikasi akibat hipoksemia yang berkepanjangan,
yaitu terjadinya vasokonstriksi kronis pada arteri pulmonary yang menyebabkan
terjadinya gagal jantung kanan atau cor pulmonale. Selain PPOK-nya harus
ditangani secara tersendiri, cor
pulmonale juga perlu mendapat penanganan agar tidak membawa akibat fatal
berupa kematian. Di bawah ini dipaparkan beberapa obat yang dapat dipakai dalam
pengatasan cor pulmonale.
a.
Terapi
Oksigen
Terapi
oksigen sangat penting pada pasien PPOK terutama bila diberikan secara
terus-menerus. Pada komplikasi cor
pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2) cenderung berada di
bawah 55 mmHg dan bisa makin menurun dengan kegiatan fisik atau selama
istirahat. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi paru akibat hipoksemia,
sehingga kemudian meningkatkan curah jantung, dan mengurangi vasokonstriksi
simpatis serta mengurangi hipoksemia jaringan, dan meningkatkan perfusi ginjal.
b.
Diuretik
Diuretik
digunakan dalam terapi cor pulmonale,
terutama jika volume pengisian ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada
pengelolaan edema yang terjadi. Obat diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua
belah ventrikel, kiri dan kanan, tetapi diuretik dapat menghasilkan efek
samping hemodinamik jika tidak digunakan secara hati-hati.
c.
Vasodilator
Obat
vasodilator telah disarankan pada penatalaksanaan jangka panjang pada cor pulmonale kronis dengan hasil
sedang. Golongan penghambat kanal kalsium, terutama nifedipin oral bentuk sustained-release
dan diltiazem, dapat mengurangu
tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif pada
hipertensi pulmonar primer daripada sekunder.
d.
Glikosida
jantung
Penggunaan
glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonale masih kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar
seperti pada penatalaksanaan gagal jantung kiri. Namun demikian, penelitian
telah membuktikan bahwa digitalis memiliki efek sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai
dengan hati-hati, dan tidak boleh digunakan selama fase akut karena dapat meningkatkan
risiko terjadinya aritmia jantung.
e.
Teofilin
Selain
memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi
vasokonstriksi paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien PPOK
dengan cor pulmonale. Teofilin
memiliki efek inotropik yang lemah, sehingga dapat meningkatkan ejeksi
ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis rendah juga dilaporkan dapat
memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat mengontrol penyakit paru seperti
PPOK.
G. MONITORING DAN EVALUASI HASIL TERAPI
Pada
PPOK stabil kronis, perlu dilakukan tes fungsi paru secara periodik untuk
mengetahui pengaruh perubahan terapi atau penghentian suatu terapi. Selain itu
juga perlu dipantau skor dispnea,
kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi,
termasuk jumlah masuk RS karena PPOK. Sedangkan untuk eksaserbasi akut, perlu dilakukan evaluasi terhadap hitung leukosit, tanda vital, rontgen dada, dan
perubahan dalam frekuensi dispnea,
volume sputum, dan purulensi sputum selama terapi eksaserbasi berlangsung. Pada eksaserbasi yang lebih berat, analisa saturasi dan gas darah harus dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, Joseph T. et al , 2009, Pharmacotherapy
Handbook, Seventh Edition, Mc Graw Hill Companies, Inc, New York, USA.
Dipiro, Joseph T. et al, 2008, Pharmacotherapy A Phatophysiological Approach, Seventh Edition, Mc
Graw Hill Companies, Inc, New York, USA.
Ikawati, Z, 2011,Penyakit
Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya, Bursa Ilmu, Yogyakarta
Koda-Kimbal, Mary anne. et al, 2009, Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, Ninth Edition, Lippincott
William & Wilkins, Baltimore.
Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008,ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.
SEMOGA BERMANFAAT!!!! v(^_^)v
Alhamdulillah saya sudah sembuh dari PPOK.
BalasHapusSaya sembuh semenjak konsultasi dan minum obat resep dari pengobatan terpadu ah9779 yang di rekomendasi kan oleh teman saya ...
Alhamdulillah semenjak rutin kosumsi obat resep beliau yang saya pesan langsung dari beliau nafas saya menjadi lega dan dahak serta mendengkur saya hilang... Jadi buat saudara yang lain kalau belum sembuh coba berobat dengan beliau... Bisa datang langsung atau hanya pesan obat nya saja. Ini no beliau 0822-9423-8289 semoga saudara bisa sembuh juga seperti saya amin...
Saya Ingin sembuh segera.
Hapus