Sabtu, 05 Mei 2012

PPOK????

Assalamu alaikum..hmmm lama tidak ngeposting. lagi sibuk belajar buat ujian,,, alhamdulillah hari ini dah selesai ujian utama tengah semesternya.
Kali ini saya akan ngeposting masalah PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), yang merupakan tugas makalah dari mata kuliah Farmakoterapi. let's read!!!!!!


PENYAKIT PARU OBSTRUKSI  KRONIS (PPOK)/CHRONIC OBSTRUCTIVE
PULMONARY DESEASE (COPD)
A. DEFENISI
Menurut WHO yang dituangkan dalam Panduan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2010, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit yang dikarakterisasi oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya.  Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya.  Dua gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis kronis  atau emfisema.
B. EPIDEMIOLOGI
Menurut data Sukernas tahun 2001, penyakit pernafasan (termasuk PPOK) merupakan penyebab kematian ke 2 di Indonesia. WHO memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari urutan 6 menjadi peringkat ke-3 di dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 penyebab kematian tersering.
Prevalensi PPOK meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini juga lebih tinggi pada pria daripada wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara di mana merokok merupakan gaya hidup, yang menunjukkan bahwa rokok merupakan faktor risiko utama, dimana angka kesakitannya meningkat dengan usia dan lebih besar pada pria daripada wanita. Kematian akibat PPOK sangat rendah pada pasien usia di bawah 45 tahun, dan meningkat dengan bertambahnya usia.
C. ETIOLOGI
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah :
a.      Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
b.      Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.
c.       Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun polusoi dari dalam rumah misalnya asap dapur.
d.      Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain adalah :
1.    Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1-antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami <1% pasien PPOK.

2.    Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
3.    Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK, misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.
4.    Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif.
D. PATOFISIOLOGI
Proses potogenesis PPOK


BRONKITIS KRONIS DAN EMFISEMA PADA PPOK
a.    Bronkitis kronis
Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan, yaitu dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang terus-menerus seperti asap rokok atau polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Asap rokok menghambat pembersihan mukosiliar (mucociliary clearance). Faktor yang menyebabkan gagalnya mukosiliar adalah adanya proliferasi sel goblet dan pergantian epitel yang bersilia dengan yang tidak bersilia. Hiperplasia dan hipertrofi kelenjar penghasil mukus menyebabkan hipersekresi mukus di saluran nafas. Iritasi asap rokok juga menyebabkan inflamasi bronkiolus (bronkilolitis) dan alveoli (alveolitis). Akibatnya makrofag dan neotrofil berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat kerusakan epitel. Bersama dengan adanya produksi mukus, terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli. Dengan banyaknya mukus yang kental dan lengket serta menurunnya pembersihan mukosiliar menyebabkan meningkatnya risiko.
Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan pengeluaran mukus dan penyempitan lumen, juga diikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil, yang makin mempersempit saluran pernafasan. Autopsi menunjukkan bahwa pasien dengan bronkitis kronis mempunyai diameter jalur pernafasan yang kurang dari 0,4 mm.
Bronkitis kronik berkembang selama beberapa tahun, perubahan pada saluran nafas kecil menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap, sehingga terjadi ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia. Hipoksemia mengakibatkan hipertensi pulmonary dengan berikutnya terjadi gagal jantung kanan (cor pulmonale). Pasien dengan hipertensi pulmonari mengalami peningkatan persentasi intima dan media pada arteri pulmonari. Hipoksemia persisten menstimulasi eritropoiesis dengan akibat polisitemia dan meningkatnya viskositas darah, yang akan mendorong terjadinya mental confusion dan thrombotic stroke.
Karena adanya mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia untuk membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi berulang. Bakteri yang dapat menyerangnya yaitu Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza. Tanda-tanda infeksi adalah perubahan sputum seperti meningkatnya volume mukus, mengental, dan perubahan warna. Demam dapat terjadi atau pun tidak. Infeksi yang berulang dapat menyebabkan keparahan akut pada status pulmonar dan berkontribusi secara signifikan pada percepatan penurunan fungsi pulmonar karena inflamasi menginduksi fibrosis pada bronkus dan bronkiolus.
b.   Emfisema
Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Asinus terdiri: respiratory bronkiolus, duktus alveolus dan kantong alveolar. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus sehingga permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Ada beberapa tipe emfisema berdasarkan pola asinus yang terserang, tetapi yang paling berkaitan dengan PPOK adalah emfisema sentrilobular. Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian bronkiolus. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar dan bergabung dan cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris dan kantung alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan. Penyakit ini seringkali lebih berat menyerang pada bagian atas paru-paru, tetapi akhirnya cenderung tersebar tidak merata. Emfisema sentrilobular lebih banyak ditemukanpada orang yang merokok, dan jarang dijumpai pada orang yang tidak merokok.
Mekanisme Terjadinya emfisema


 
Keterangan gambar:
Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan melepaskan enzim proteolitik (elastase, kolagenase). Pada orang normal, kerja enzim ini akan dihambat oleh α1-antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi defisiensi α1-antitripsin, enzim proteolitik akan menyebabkan kerusakan pada alveous menyebabkan emfisema.
E. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien kronis, produksi dahak atau dispnea dan yang memiliki faktor risiko penyakit ini. Adanya keterbatasan aliran udara dapat dijelaskan lebih lanjut dengan spirometri. Spirometri merupakan penilaian komprehensif dari kapasitas dan volume paru. Spirometri yang dikombinasikan dengan pemeriksaan fisik dapat meningkatkan akurasi diagnosis PPOK. Spirometri juga digunakan untuk menentukan tingkat keparahan penyakit, bersama dengan penilaian gejala dan adanya komplikasi. Keuntungan utama dari spirometri adalah dapat mengidentifikasi individu yang memiliki kemampuan farmakoterapi untuk mengurangi eksaserbasi.
Prosedur pengujian reversibilitas:
1.        Persiapan
Pengujian harus dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari  infeksi pernafasan.Pasien tidak diberikan inhalasi bronkodilator short-acting 6 jam sebelumnya, long-acting β-agonis 12 jam sebelumnya, atau teofilin SR 24 jam sebelumnya.
2.        Spirometri
FEV1 harus diukur sebelum diberikan bronkodilator.Bronkodilator dapat diberikan dengan metered-dose inhaler (MDI) atau  nebulisasi.Dosis umum biasanya 400 mcg β-agonis,  160 mcg antikolinergik, atau kombinasi keduanya.FEV1 dapat diukur 10-15 menit setelah pemberian β-agonis atau 30-45 menit setelah kombinasi diberikan.
3.         Hasil
Peningkatan FEV1 yang lebih besar dari 200 ml dan 12% di atas
prebronchodilator FEV
1 dianggap signifikan.
Tabel 1. Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Nilai FEV1 dan Gejala Menurut GOLD 2010
Tingkat
Nila FEV1 dan Gejala
I
Ringan
FEV1/FVC <  70% FEV1 ≥ 80% dan umumnya, tapi tidak selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien biasanya bahkan belum merasa bahwa paru-parunya bermasalah.

II
Sedang
FEV1/FVC <  70%;  50%< FEV1 < 80%, gejala biasanya mulai progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.

III
Berat
FEV1/FVC <  70%;  30%< FEV1 < 50%. Terjadi eksaserbasi berulang yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan penyakit.

IV
Sangat Berat
FEV1/FVC <  70%;   FEV1 < 30% atau < 50% plus kegagalan respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika walaupun FEV1 < 30%, tapi pasien mengalami kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan atau cor pulmonale . Pada tahap ini, kualitas hidup sangat terganggu dan serangan mungkin mengancam jiwa.


Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK adalah sebagai berikut:
1.      Batuk kronis : terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang hari.
2.      Produksi sputum secara kronis
3.      Bronkitis akut: terjadi secara berulang.
4.      Sesak nafas (dispnea): bersifat progresif sepanjang waktu, terjadi setiap hari, memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernafasan.
5.      Riwayat paparan terhadap faktor risiko: merokok, partikel dan senyawa kimia, asap dapur.
F. TATALAKSANA TERAPI
1.    Terapi non-farmakologis
a)    Berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk mengurangi risiko PPOK dan satu-satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan FEV1 jangka panjang dan memperlambat perkembangan PPOK.
b)   Program rehabilitasi paru termasuk latihan bersama dengan
berhenti merokok, latihan pernapasan, pengobatan medis yang optimal, dukungan psikososial, dan pendidikan kesehatan. Tambahan oksigen, dukungan nutrisi, dan perawatan psychoeducational (misalnya, relaksasi) adalah tambahan penting
yang berarti dalam program rehabilitasi paru.
c)    Vaksinasi tahunan dengan vaksin intramuskular influenza tidak aktif yang direkomendasikan.
d)   Satu dosis vaksin pneumokokus polivalen diindikasikan untuk pasien
pada setiap usia dengan
PPOK; vaksinasi ulang dianjurkan bagi pasien yang lebih tua dari 65 tahun jika vaksinasi pertama adalah lebih dari 5 tahun sebelumnya dan pasien lebih muda dari 65 tahun.
e)    Terapi oksigen jangka panjang. Penggunaan terapi oksigen dapat meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK dengan hipoksemia kronis.
2.    Terapi farmakologis
Terapi farmakologi berdasarkan keparahan penyakit
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan umum terapi PPOK berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.
Obat-obat yang digunakan
1.      Bronkodilator
        Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini bisa digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi serangan, atau secara reguler untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala. Efek samping obat bronkodilator umumnya dapat diprediksi dan tergantung dosis. Jarang menimbulkan efek obat yang tidak dikehendaki (adverse drug reaction), dan kalaupun terjadi umumnya segera hilang jika obat dihentikan.
Beberapa contoh bronkodilator untuk PPOK adalah sbb:
a.    Antikolinergik
             Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Hal ini karena persyarafan utama yang memediasi aksi bronkokonstriksi adalah saraf kolinergik, di mana pada usia lanjut saraf adrenergik sudah mengalamai down regulasi dan berkurangnya sensitivitas. Mekanisme utama obat golongan antikolinergik adalah blokade pada reseptor muskarinik M3. Termasuk golongan ini adalah ipratropium dan oksitropium (beraksi pendek), dan tiotropium bromida (beraksi panjang). Penghambatan terhadap reseptor M3 menyebabkan penghambatan terhadap aktivasi enzim fosfolipase yang menguraikan senyawa fosfatidil inositol difosfat menjadi inositol trifosfat dan diasilgliserol. Berkurangnya senyawa inositol trifosfat yang beraksi memobilisasi kalsium dari tempat penyimpanannya menyebabkan relaksasi otot polos bronkus.
b.   Simpatomimetik
             Obat golongan simpatomimetik yang selektif terhadap reseptor adrenergik β-2 bersifat bronkodilator dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan pembentukan adenosine 3’,5’ monophosphate (3’,5’-cAMP). cAMP akan menghambat aksi myosin light chain kinase, sehingga pada gilirannya akan mencegah terjadinya kontraksi otot polos bronkus. Golongan ini juga mungkin meningkatkan pembersihan mukosiliar.
Efek bronkodilatasi β-agonis aksi cepat umumnya berakhir setelah 4-6 jam, sedangkan β-agonis aksi panjang seperti salmeterol dan formoterol menunjukkan durasi aksi sampai 12 jam atau lebih, tanpa berkurangnya efektivitas pada malam hari atau dengan penggunaan teratur pada pasien PPOK.
c.    Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik
             Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi terutama sering digunakan jika perkembangan penyakitnya meningkat atau gejalanya memburuk. Kombinasi dua golongan bronkodilator ini mungkin akan lebih efektif dibandingkan digunakan sendiri-sendiri, selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya sehingga menurunkan potensi efek sampingnya. Kombinasi antara suatu β-agonis aksi pendek maupun panjang dengan antikolinergik terbukti dapat meningkatkan efek perbaikan gejala dan fungsi paru. Sebuah studi melaporkan bahwa kombinasi tiotropium bromida dengan formoterol memberikan perbaikan fungsi paru yang lebih baik daripada kombinasi salmeterol dengan flutikason.
d.   Metilxantin
             Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan menghambat phosphodiesterase monofosfat (sehingga meningkatkan cAMP), menghambat masuknya ion kalsium ke dalam otot polos,
antagonis prostaglandin, stimulasi katekolamin endogen,
antagonis reseptor adenosin, dan penghambatan pelepasan mediator
dari sel mast dan leukosit.
Penggunaan kronis teofilin pada PPOK menunjukkan perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara subyektif,teofilin telah terbukti mengurangi dyspnea, meningkatkan toleransi latihan, dan memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonary yang mungkin menyebabkan kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk peningktatan fungsi jantung dan penurunan tekanan arteri pulmonalis.
2.      Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi dan mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan menghambat prostaglandin.
3.      Terapi Oksigen jangka panjang (long term)
Penggunaan oksigen berkesinambungan (> 15 jam sehari) dapat meningkatkan harapan hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan respirasi kronis, dan memperbaiki tekanan arteri pulmonar, polisitemia (hematokrit > 55%), mekanik paru, dan status mental.
     Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat keparahan IV (sangat berat) jika:
a)    PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia, atau
b)   PaO2 antara 55 mmHg – 60 mmHg, atau SaO2 89%, tetapi ada tanda hipertensi pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif, atau polisitemia.
4.      Antibiotik
   Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus atau bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan penggunaan antibiotika pada pasien-pasien yang:
a)    Dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu: peningkatan dyspnea (sesak nafas), peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum, atau
b)   Dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi sputum merupakan salah satunya, atau
c)    Dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik invasif maupun non-invasif
Beberapa bakteri yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus parainfluenzae, dan Moraxella catarrhalis.
Tabel 2. Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK
Karakteristik pasien
Patogen penyebab yang mungkin
Terapi yang direkomendasikan
·         Eksaserbasi tanpa komplikasi
·         < 4 eksaserbasi setahun
·         Tidak ada penyakit penyerta
·         FEV1 > 50%
S pneumoniae, H. Influensa, H. Paraenfluenzae, dan     M. catarrhalis umumnya tidak resisten
Makrolid (azitromisin, klaritromisin), sefalosporin generasi 2 atau 3, doksisiklin
·         Eksaserbasi kompleks
·         Umur > 65 th,
Ø  4 eksaserbasi pertahun
·         FEV1 < 50% tapi > 35%
H. Influensa, M. Catarrhalis, S pneumoniae penghasil betalaktamase, Enterobacteraceae (K. Pneumoniae, E. coli, Proteus, Enterobacter, dll)
Amoksisilin/klavulanat, Fluorokuinolon (levofroksasin, gatiflokasin, moksifloksasin), Sefalosporin generasi 2 dan 3
Eksaserbasi kompleks dengan risiko P. aeruginosa

Seperti di atas, ditambah P. aeruginosa
Fluorokuinolo (levofroksasin, gatiflokasin, moksifloksasin), terapi IV jika perlu : sefalosporin generasi 3 atau 4
5.      Imunisasi
Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai 50%. Vaksin influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK usia lanjut karena cukup efektif dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK. Pasien PPOK sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dan vaksinasi influenza per tahun untuk mengurangi insiden pneumonia. Bila pasien terpapar pada influenza sebelum divaksinasi, maka dapat digunakan obat antivirus amantadin dan rimantadin.
6.      Mukolitik
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol teriodinasi telah diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial. Meskipun mungkin penggunaannya memberikan manfaat bagi sebagian pasien, tetapi secara keseluruhan manfaatnya sangat kecil. Karena itu, menurut GOLD 2010, penggunaannya tidak direkomendasikan berdasarkan bukti-bukti klinis yang ada.
7.      Terapi Pengganti AAT (alpha anti trypsine)
Pada pasien dengan defisiensi AAT secara herediter, selain dengan mengurangi faktor risiko dan terapi simptomatik menggunakan bronkodilator, dapat ditambahkan terapi penggantian AAT (AAT replacement therapy). Terapi ini terdiri dari infus AAT secara rutin (mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma di atas 10 mikromolar. Regimen dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara intravena sekali seminggu dengan kecepatan 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan dengan toleransi pasien. Saat ini, contoh produk yang tersedia adalah Prolastin, Aralast, dan Zemaira.
Terapi Pada Komplikasi PPOK : Cor Pulmonale
       Pada keadaaan PPOK berat (tahap IV), pasien seringkali mengalami komplikasi akibat hipoksemia yang berkepanjangan, yaitu terjadinya vasokonstriksi kronis pada arteri pulmonary yang menyebabkan terjadinya gagal jantung kanan atau cor pulmonale. Selain PPOK-nya harus ditangani secara tersendiri, cor pulmonale juga perlu mendapat penanganan agar tidak membawa akibat fatal berupa kematian. Di bawah ini dipaparkan beberapa obat yang dapat dipakai dalam pengatasan cor pulmonale.
a.    Terapi Oksigen
     Terapi oksigen sangat penting pada pasien PPOK terutama bila diberikan secara terus-menerus. Pada komplikasi cor pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2) cenderung berada di bawah 55 mmHg dan bisa makin menurun dengan kegiatan fisik atau selama istirahat. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi paru akibat hipoksemia, sehingga kemudian meningkatkan curah jantung, dan mengurangi vasokonstriksi simpatis serta mengurangi hipoksemia jaringan, dan meningkatkan perfusi ginjal.
b.   Diuretik
     Diuretik digunakan dalam terapi cor pulmonale, terutama jika volume pengisian ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada pengelolaan edema yang terjadi. Obat diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua belah ventrikel, kiri dan kanan, tetapi diuretik dapat menghasilkan efek samping hemodinamik jika tidak digunakan secara hati-hati.
c.    Vasodilator
     Obat vasodilator telah disarankan pada penatalaksanaan jangka panjang pada cor pulmonale kronis dengan hasil sedang. Golongan penghambat kanal kalsium, terutama nifedipin oral bentuk sustained-release dan diltiazem, dapat mengurangu tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif pada hipertensi pulmonar primer daripada sekunder.
d.   Glikosida jantung
     Penggunaan glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonale masih kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar seperti pada penatalaksanaan gagal jantung kiri. Namun demikian, penelitian telah membuktikan bahwa digitalis memiliki efek sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai dengan hati-hati, dan tidak boleh digunakan selama fase akut karena dapat meningkatkan risiko terjadinya aritmia jantung.
e.    Teofilin
     Selain memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi vasokonstriksi paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien PPOK dengan cor pulmonale. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah, sehingga dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis rendah juga dilaporkan dapat memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat mengontrol penyakit paru seperti PPOK.
G.  MONITORING DAN EVALUASI HASIL TERAPI
   Pada PPOK stabil kronis, perlu dilakukan tes fungsi paru secara periodik untuk mengetahui pengaruh perubahan terapi atau penghentian suatu terapi. Selain itu juga perlu dipantau skor dispnea, kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi, termasuk jumlah masuk RS karena PPOK. Sedangkan untuk eksaserbasi akut, perlu dilakukan evaluasi terhadap hitung leukosit, tanda vital, rontgen dada, dan perubahan dalam frekuensi dispnea, volume sputum, dan purulensi sputum selama terapi eksaserbasi berlangsung. Pada eksaserbasi yang lebih berat, analisa saturasi dan gas darah harus dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, Joseph T. et al , 2009, Pharmacotherapy Handbook, Seventh Edition, Mc Graw Hill Companies, Inc, New York, USA.

Dipiro, Joseph T. et al, 2008, Pharmacotherapy A Phatophysiological Approach, Seventh Edition, Mc Graw Hill Companies, Inc, New York, USA.

Ikawati, Z, 2011,Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya, Bursa Ilmu, Yogyakarta

Koda-Kimbal, Mary anne. et al, 2009, Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, Ninth Edition, Lippincott William & Wilkins, Baltimore.

Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008,ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.


SEMOGA BERMANFAAT!!!!    v(^_^)v

2 komentar:

  1. Alhamdulillah saya sudah sembuh dari PPOK.
    Saya sembuh semenjak konsultasi dan minum obat resep dari pengobatan terpadu ah9779 yang di rekomendasi kan oleh teman saya ...
    Alhamdulillah semenjak rutin kosumsi obat resep beliau yang saya pesan langsung dari beliau nafas saya menjadi lega dan dahak serta mendengkur saya hilang... Jadi buat saudara yang lain kalau belum sembuh coba berobat dengan beliau... Bisa datang langsung atau hanya pesan obat nya saja. Ini no beliau 0822-9423-8289 semoga saudara bisa sembuh juga seperti saya amin...

    BalasHapus